Kisah Juwita


Namanya Juwita, usianya menginjak akhir 20an. Sudah cukup mapan dalam hidupnya dan merasa ada sesuatu yang kurang dalam dirinya, sampai saat ini ia belum pernah merasakan cinta dari pria manapun.

Juwita memang tipe wanita yang terkesan tertutup, acuh dengan pria, dan tidak pernah menjalin hubungan yang serius. Entah apa sebabnya tidak ada pria yang sepertinya tertarik untuk menunjukkan rasa cinta pada Juwita.

Tidak sedikit hari yang dilaluinya tanpa memikirkan ingin punya kekasih, tapi ia juga tahu bahwa cinta tidak perlu buru-buru. Hanya perlu bersabar, jika tidak sekarang, pasti nanti ada waktu yang tepat. Namun hari berganti, tampaknya tak ada satu pun yang datang mengisi hatinya sampai ia berpikir apa yang salah dengan dirinya?

Pertanyaan tersebut terus berdenging lirih dalam benaknya, menanti untuk digali jawabannya --Apa yang salah dengan dirinya?-- Juwita tahu agar menarik bagi lelaki ia perlu memoles diri (dan sekaligus hati), namun jawabannya bagi Juwita bukan di penampilan atau perilakunya. Ada hal lain yang ia rasa membuatnya tidak kunjung bisa menjalin hubungan serius, jawabannya adalah dalam hati kecilnya ia takut disakiti lelaki.

Katanya cinta akan datang ketika membuka hati, namun dengan membuka hati berarti juga siap dengan kemungkinan sakit hati. Sayangnya hal tersebut tanpa disadari adalah ketakutan terbesar Juwita. Patah hati tampak sangat menyeramkan, hal yang ia kira tak akan sanggup ia lewati. Tapi bukankah siap jatuh cinta berarti siap patah hati?

Bagi Juwita yang ternyata hatinya hanya setengah siap, antara keinginan menjalin cinta dan rasa takut sama besarnya, walau terkadang rasa takut bahkan lebih dominan.

Dirinya pun bersembunyi dibalik rasa takut, Juwita hanya berani menjalin cinta yang ia kira tidak akan menyakitinya, hubungan tanpa keterikatan, tanpa komitmen, tanpa status. Apakah ada hubungan seperti itu? Hal inilah yang Juwita temukan dalam sosok pria yang sudah terikat pernikahan.

Bagi Juwita, justru pria menikah memberi rasa aman karena kecil kemungkinannya akan membawa ia dalam komitmen. Bagi Juwita, tanpa terikat relationship berarti tanpa sakit hati karena tidak perlu melibatkan perasaan. Hubungan tanpa status adalah kemerdekaan.

Juwita suatu saat bertemu seorang Pria yang pada awalnya sama sekali tidak menggoda, tertarik melirik saja tidak. Pria ini sudah menikah, usia pernikahannya separuh usia Juwita. Bagi Juwita sisi yang sangat menggoda dari Pria ini adalah ia memiliki anak dan keluarga yang bahagia (atas asumsi Juwita demikian), siapa sih wanita yang tidak senang dengan pria yang mampu membahagiakan keluarganya? Wanita mana yang tidak bahagia dengan pria yang bertanggung jawab atas anak-anaknya?

Walaupun menyukai sosok Pria ini, Juwita tidak bermaksud merebut dia dari keluarganya atau merusak komitmennya sebagai suami, justru Juwita menghargainya. Juwita tidak mencari tantangan, ia hanya ingin merasakan sedikit kebahagiaan dan kasih sayang dari Pria yang menurutnya mampu membahagiakan wanita.

Tidak selamanya yang mampu membahagiakan itu setia, begitulah Pria ini. Bagi Juwita tak ada yang salah ketika sang Pria mulai menggodanya, bahkan ia pun balas menggoda, kadang agak genit.

Juwita adalah penakut yang berani mencicipi Pria yang sebenarnya tidak boleh untuknya. Setiap pelukannya membawa rasa nyaman, setiap ciumannya membawa rasa penuh. Dari Pria inilah Juwita merasakan ciuman terdahsyat dalam hidupnya. Sedikit saja tergelincir, mungkin saja Pria ini bisa mendapatkan keperawanannya, hal yang hampir pernah terjadi.

Walau bagaimanapun Juwita tidak dapat berbohong jika mengendalikan diri kadang sangat sulit, meski ia sadar tidak ingin terlibat dalam keadaan yang lebih rumit.  Ia ingin berhenti, meski sebagian dari dirinya berkonspirasi ingin melanjutkan kegilaan ini.

Perasaan kadang mudah mengelabui logika, Juwita tahu ia perlu berpikir jernih, apa yang ia jalin dengan Pria ini tidak akan berakhir indah. Jika dilanjutkan pun akan ada lebih banyak keresahan dalam dirinya dan Juwita tahu ia berada di pihak yang kalah sejak awal --dan tentu saja ada seribu alasan lainnya untuk berhenti.

Sudah saatnya bagi Juwita untuk menghadapi rasa takutnya, bukan mencari alasan dibalik rasa takut. Ini adalah soal keberanian yang tepat serta menghargai diri sendiri lebih layak. Sudah saatnya ia mendapatkan kekasih yang sesungguhnya, yang tidak sembunyi-sembunyi, yang cintanya memang berhak ia miliki.

Begitulah yang terjadi antara Juwita dan Pria ini harus berhenti. Agar Pria ini kembali pada janjinya, pada wanita yang sudah terikat padanya dunia & akhirat -- agar Juwita mendapatkan dan dilanda cinta dari orang yang tepat.

Komentar

  1. "Perasaan kadang mudah mengelabui logika, Juwita tahu ia perlu berpikir jernih--dan tentu saja ada seribu alasan lainnya untuk berhenti."

    ini dalemmm....

    BalasHapus

Posting Komentar