Mari Peduli Epilepsi

World Purple Day diperingati setiap tanggal 26 Maret sebagai Hari Peduli Epilepsi


Menurut World Health Organization (WHO) epilepsi merupakan gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa serangan-serangan yang berulang-ulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf) paka rangsang yang berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik, sensorik, otonom, atau psikis yang timbul tiba-tiba dan sesaat disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel otak. Di Indonesia beberapa istilah epilepsi antara lain ayang, kejang, sakalor, atau babi gila.



Epilepsi bukan kutukan

Di negara kita sering dijumpai orang yang mengidap epilepsi dikaitkan dengan guna-guna atau hal mistis. Edukasi mengenai penyakit gangguan saraf ini kepada masyarakat penting untuk dilakukan. Stigma masyarakat yang menganggap buruk epilepsi sering membuat penderita dan keluarganya malu, menurunnya harga diri, hingga depresi dan penurunan kualitas hidup. Stigma negatif ini cenderung menghambat seorang penyandang epilepsi (PE) untuk sembuh dari penyakitnya, bahkan karena dianggap penyakit yang datang karena kutukan banyak PE yang tidak mendapat pengobatan yang tepat dari spesialis saraf. Stigma buruk pada PE inilah yang harus dihilangkan sehingga PE dapat hidup sejajar dengan masyarakat tanpa rendah diri.

Perlu digaribawahi bahwa epilepsi bukan penyakit gaib yang berhubungan dengan dunia mistis. Epilepsi merupakan suatu penyakit saraf yang disebabkan oleh pelepasan muatan listrik berlebihan dan berkala dari sekelompok sel di otak. Hal ini menyebabkan PE menunjukkan gejala hanya pada saat serangan, diluar serangan performa penyandang sangatlah normal. Inilah yang membuat penyakit ini unik, sehingga sering disalahartikan dengan kesurupan, kerasukan, kegilaan, dan lain sebagainya.

Menurut dr.Suryo Dharmono, SpKJ, self-stigma dan stigma sosial merupakan masalah yang sering dialami PE dalam aktivitas mereka dalam masyarakat. Pada beberapa kasus self-stigma oleh keluarga, keluarga melakukan proteksi berlebihan yang membatasi kegiatan PE dan pada akhirnya justru meningkatkan depresi. Di samping itu, stigma sosial juga dilakukan masyarakat pada PE yang sering mengalami kejang, misalnya di tempat kerja yang tentunya akan meningkatkan kemungkinan depresi pada PE. Oleh karena itu penting dilakukan destigmatisasi dan membangun persepsi positif terhadap PE melalui edukasi yang dilakukan secara berkesinambungan mulai dari tingkat sekolah dasar.

Penyebab Epilepsi

Setiap bangkitan/seizure epilepsi disebabkan oleh gangguan sinyal listrik pada otak. Otak memiliki jutaan sel saraf yang mengontrol bagaimana kita berpikir, bergerak dan merasa dengan mengirimkan sinyal listrik ke satu sama lain. Jika sinyal-sinyal ini tiba-tiba terganggu ini dapat menyebabkan bangkitan/seizure epilepsi. Penyebab epilepsi dapat dimasukkan ke dalam tiga kelompok utama:
  1. Epilepsi simtomatik. Disebabkan oleh cedera kepala, infeksi seperti meningitis, otak tidak berkembang dengan baik, stroke, atau tumor. Pemindai, seperti Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat menunjukkan penyebabnya. Ada juga yang disebabkan kelainan struktural dalam otak dan organ lainnya. 
  2. Epilepsi idiopatik. Penyebabnya tidak diketahui. 
  3. Epilepsi kriptogenik. Penyebab epilepsi ini masih belum dipastikan dan masih dalam proses penelitian.
Diagnosa

Seseorang biasanya didiagnosis memiliki epilepsi jika mengalami bangkitan (seizure) dua kali atau lebih. Hal penting yang perlu dipahami dokter dan msyarakat adalah mengenal bangkitan epilepsi dan membedakannya dengan bangkitan non epilepsi. Bangkitan epilepsi merupakan bangkitan berulang yang terjadi tanpa provokasi, tanpa sebab yang akut, misalnya trauma kepala. Dalam mendiagnosis epilepsi dibutuhkan berbagai informasi yang mengharuskan seorang dokter untuk melakukan berbagai tes. Wawancara langsung dengan pada PE sulit untuk dilakukan karena para PE tersebut tidak mampu mengingat apa yang terjadi pada dirinya ketika bangkitan tersebut terjadi. Oleh karena itu, para dokter biasanya bertanya kepada orangorang sekitarnya yang pernah melihat bangkitan epilepsi terjadi pada mereka. Sejumlah investigasi, termasuk tes darah, EEG dan radiologis dapat memberikan informasi tambahan untuk penegakkan diagnosis.


Sumber: Seminar World Purple Day - Mari Peduli Epilepsi (20 Maret 2013)

Komentar